PESERTA DIDIK
Subjek
penerima : peserta didik
Subjek
pemberi : pendidik
1.
Pengertian Peserta Didik.
Peserta didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pendidikan. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak yang
membutuhkan bantuan orang lain untuk bias bertumbuh kembang kearah kedewasaan.
Istilah peserta didik pada pendidikan formal biasa disebut dengan siswa, pada
pendidikan pondok pesantren disebut santri, dan pada pendidikan keluarga
disebut anak.
Menurut Sutarmi
Imam Barnadib (1995) peserta didik sangat bergantung pada orang lain yang
memiliki kedewasaan. Sebagai anak, peserta didik masih dalam kondisi yang lemah
dibanding orang dewasa. Namun dalam dirinya terdapat potensi bakat yang luar
biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
2.
Peserta Didik sebagai Pesona.
Peserta didik
adalah subyek yang otonom, memiliki motivasi, hasrat, cita-cita dan sebagainya.
Sebagai pesona yang memiliki otonomi, ia ingin mengembangkan dirinya secara
terus menerus agar mampu memecahkan masalah yang akan dihadapinya. ciri khas peserta didik
menurut Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994) adalah peserta didik merupakan:
a.
Individu yang memiliki potensi
fisik dan psikhis yang khas.
Maksudnya, ia sejak lahir memiliki
potensi yang berbeda dengan individu lain.
b.
Individu yang sedang
berkembang.
Selalu memiliki perubahan secara
wajar baik pada diri sendiri maupun kearah penyesuaian dengan lingkungan.
c.
Individu yang membutuhkan
bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
Walaupun ia makhluk yang berkembang,
memiliki potensi dan bisa mandiri ia tetap belum dewasa maka membutuhkan
bantuan dan bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya.
d.
Individu yang memiliki
kemampuan untuk mandiri.
Karena dalam diri anak ada
kecenderungan untuk memerdekan diri, sehingga pendidik dan orang tua harus
memberi kebebasan walau setapak demi setapak kepada anak.
Keempat
diatas merupakan justifikasi keunikan peserta didik sebagai pesona yang
multidimensional. Dimensi individualitas pada diri peserta didik
mewujud dalam kemandirian , ketekunan, kerja keras, keberanian, kepercayaan
diri, keakuan, semangat dan ambisi. Dimensi sosialitas
pada diri peserta didik tampak pada sikap kedermawanan, saling menolong,
toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesama, berorganisasi, dan hidup
secara bermasyarakat. Dimensi religiusitas
pada diri peserta didik kelihatan dalam perilaku ketaatan menjalankan
ajaran agama, berubah, keyakinan akan adanya Tuhan, ketekunan, keikhlasan,
kesediaan berdakwah, dan kepasrahan atau tawakal. Dimensi historitas tampak pada diri peserta didik dalam kesenangan
menyelidiki kisah-kisah kuno, kegemaran mencatat aneka kejadian sejarah, kesadaran
akan pentingnya sejarah, dan kemampuan mengkreasi sejarah. Dimensi moralitas pada diri peserta didik
kelihatan pada pengetahuannya tentang nilai-nilai moralitas universal dan
lokal, pengetahuan tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari perilaku moral, kemampuan membedakan antara perilaku
moral baik dan buruk, kemampuan menjaga perilaku ketaatan moral, dan lain-lain.
Menurut Thomas Amstrong, kecerdasan ganda
(multiple intellegences) meliputi
verbal intelegences, musical
intelegences, spatial intelegences, kinesthical intelegences,
logical-mathematical intelegences, social,intrapersonal intelegences.
Semua keunikan pada
diri peserta didik dapat menjadi indikator yang membedakan bahwa manusia bisa
bersifat dinamis bukan statis. Pertanyaannya apakah dinamika tersebut mengarah
ke situasi yang konstruktif atau malah destruktif. Oleh sebab itu kehidupan
manusia perlu diarahkan agar dapat melahirkan kemajuan peradaban.
Notonagoro (Dirto
Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995) menambahkan bahwa secara
kodrati peserta didik merupakan sosok manusia yang memiliki aneka macam kodrat.
Walaupun demikian, manusia tetaplah makhluk individu yang tetap membutuhkan
bantuan dari orang lain dan tidak dapat hidup sendiri.
3.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Peserta Didik.
Tahap perkembangan
yang mengandung masa peka pada peserta didik telah banyak dikemukakan oleh
tokoh-tokoh seperti Aristoteles, Sigmund Freud, Johann Amos dan J.J.Rousseau.
Dalam buku Crow and crow (Sutari Imam Barnadib, 1995) usia perkembangan diantaranya
adalah:
a.
Usia kronologis.
b.
Usia kejasmanian.
c.
Usia anatomis.
d.
Usia kejiwaan.
e.
Usia pengalaman.
Usia perkembangan
yang ada pada peserta didik perlu diketahui dan dipahami oleh pendidik. Bagi
peserta didik yang hidup di dalam lingkungan yang teratur maka perkembangannya
akan melalui proses umum sehingga tiap-tiap usia perkembangan dapat masak pada
waktunya.
Menurut Sutarmi
Imam Barnadib (1995) paling tidak ada lima asas perkembangan pada diri peserta
didik:
a.
Tubuhnya selalu berkembang
hingga semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan kepribadiannya.
b.
Anak dilahirkan dalam keadaan
tak berdaya, hal ini menyebabkan ia terikat kepada pertolongan orang dewasa
yang bertanggung jawab.
c.
Anak membutuhkan pertolongan
dan perlindungan.
d.
Anak mempunyai daya berekspresi
yaitu kekuatan untuk menemukan hal-hal baru dalam lingkungannya.
e.
Anak mempunyai dorongan untuk
mencapai emansipasi dengan orang lain.
Teori yang
berorientasi biologis secara klasik dikenal dengan nativisme. Kemudian muncul
teori yang berorientasi pengalaman yang dikenal dengan empirisme. Teori
lingkungan pengembangan dari faham empirisme adalah naturalism. Sedangkan teori
yang merupakan gabungan adalah faham interaksionisme.
a.
Nativisme.
Teori ini dipelopori oleh
Schopenhauer (1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi manusia sejak lahir telah
dianugerahi bekal bakat potensi baik dan buruk. Menurut teori ini, anak yang
sudah membawa potensi jahat akan menjadi jahat nantinya dan sebaliknya anak
yang membawa potensi baik akan menjadi baik pula. Oleh karena itu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhannya adalah dari dalam diri peserta didik itu sendiri, sementara
pengalaman dari lingkungan tidak akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Sehingga teori
nativisme merupakan teori yang menganggap bahwa pertumbuhan dan perkembangan
individu semata-mata ditentukan oleh faktor pembawaanya yaitu aneka potensi.
b.
Empirisme.
Teori yang dipelopori oleh John Locke
ini berpendapat bahwa perkembangan anak tergantung dari pengalamannya,
sedangkan pembawaannya tidaklah penting. Istilah lain dari empirisme adalah
enviromentalisme, sebab aliran ini menekankan pengalaman empiris yang berupa
rangsangan yang berasal dari lingkungan (environment). Teori ini oleh pemikir-pemikir berikutnya banyak
dikritik dan dikoreksi, karena teori ini dianggap berat sebelah yang hanya
mementingkan faktor pengalaman semata tanpa memperhatikan faktor bakat
individu.
c.
Naturalisme.
Teori yang dipelopori oleh J.J.Rousseau
ini berpendapat bahwa anak sejak lahir telah membawa potensi baik, adapun
sifat-sifat jahat itu disebabkan oleh pengaruh negative dari masyarakat yang
memang sudah rusak atau jahat. Agar anak tetap menjadi baik maka anak tersebut
sejak kecil harus dipisahkan dari pengaruh masyarakat. Akibat pandangan dan
sikap tersebut maka aliran ini juga dikenal dengan istilah teori Negativisme. Dalam bukunya yang berjudul Emile, J.J. Rousseau
menceritakan bagaimana pendidikan harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada
peserta didik secara individual dengan cara menjauhkan peserta didik dari
segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificical) sehingga segenap potensi kebaikan pada diri anak
sebagai peserta didik bisa berkembang secara bebas, alamiah, dan spontan.
d.
Konvergensi.
Teori ini mencoba untuk
mensintesiskan teori-teori yang telah disebutkan di atas. Teori yang dipelopori
oleh William Stern ini beranggapan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak
disamping dipengaruhi oleh faktor internal juga dipengaruhi factor pengalaman.
Implikasi dari teori ini adalah :
a). Pendidikan mungkin
dilaksanakan
b). Pendidikan diartikan sebagai
pertolongan yang diberikan lingkungan pada anak didik untuk mengembangkan
potensi yang baik dan mencegah potensi buruk.
Yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.Teori ini disebut sebagai konvergensi karena menggabungkan
aliran-aliran sebelumnya menjadi memusat. Namun demikian teori ini dianggap
masih menyisakan permasalahan karena dianggap tidak bisa menjelaskan lebih lanjut
dinamika pertemuan dua faktor bawaan dan lingkungan. Variasi strategi dalam pelaksanaan pendidikan dan pemebelajaran menurut
Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994)
aneka variasi strategi tersebut dikenal dengan nama strategi disposisional,
strategi fenomenolgis, strategi behavioral, dan strategi psikodinamik.
4.
Teori Perkembangan Fisik Peserta
Didik.
Teori ini
dikemukakan oleh Gasell dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983). Perkembangan
fisik mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Dalam
pendidikan, pengembangan fisik mencakup pengembangan kekuatan, ketahanan,
kecepatan, kecekatan, dan keseimbangan.
Menurut Gasell dan
Ames serta Illingsworth yang dikutip Slamet Suyanto (2005) perkembangan motorik
peserta didik pada anak usia dini mengikuti delapan pola umum:
a.
Continuity (keberlanjutan), yakni
suatu perkembangan dimulai dari sederhana kearah yang kompleks sejalan dengan
bertambahnya usia anak.
b.
Uniform sequence(kesamaan tahapan), yakni
suatu perkembangan yang memiliki tahapan sama untuk semua anak.
c.
Maturity (kematangan), yakni suatu
perkembangan yang dipengaruhi oleh perkembangan sel syaraf.
d.
From general to specific
process (proses dari umum ke khusus), yakni suatu perkembangan yang dimulai dari gerak bersifat umum
kepada gerak bersifat khusus.
e.
Dari gerak refleks bawaan
kearah terkoordinasi, yakni suatu perkembangan yang dimiliki peserta didik.
f.
Chepalo-caudal direction, yakni
bagian yang mendekati kepala berkembang cepat daripada yang menuju ekor. Otot pada leher berkembang lebih dulu dari pada otot
kaki.
g.
Proximo-distal, yakni suatu
perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati sumbu tubuh berkembang lebih dahulu
daripada yang lebih jauh.
h.
From bilateral to crosslateral,
yakni suat perkembangan yang dimulai dari koordinasi organ yang sama berkembang
lebih dahulu sebelum bisa melakukan
koordinasi organ persilangan.
5.
Teori Perkembangan Biologis
Peserta Didik.
Perkembangan
peserta didik menurut Sigmund Freud dimulai dari lahir sampai umur 5 tahun
melewati fase yang terdiferensiasi secara dinamik. Selanjutnya berkembang
sampai umur 12 atau 13 tahun mengalami fase stabil yaitu fase laten. Dinamika
berlanjut hingga umur 20 tahun yaitu pada masa pubertas, kemudian berlanjut
pada masa kematangan.
Umur
(tahun)
|
Fase
Perkembangan
|
Perubahan
Perilaku
|
0 – 1
|
Masa Oral
|
Mulut merupakan daerah
pokok aktivitas dinamik.
|
1 – 3
|
Masa Anal
|
Dorongan dan tahanan
berpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
|
3 – 5
|
Masa Felis
|
Alat kelamin merupakan
daerah erogen terpenting.
|
5 –
13
|
Masa Laten
|
Impuls-impuls atau
dorongan-dorongan cenderung terdesak dan mengendap ke dalam bawah sadar.
|
13 –
20
|
Masa Pubertas
|
Impuls-impuls mulai
menonjol dan muncul kembali. Apabila bisa dipindahkan dan disublimasikan oleh
das ich dengan baik, maka ia bisa
sampai pada masa kematangan.
|
20 –
ke atas
|
Masa Genital
|
Individu yang sudah
mencapai fase ini telah menjadi manusia dewasa dan siap terjun dalam
kehidupan masyarakat luas.
|
6.
Teori Perkembangan Intelektual
Peserta Didik.
Teori ini banyak
dikembangkan oleh Jean Piaget (1896-1980). Dalam teori perkembangan
intelektual, Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilaui seorang anak
dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir normal. Jean Piaget juga
menyatakan bahwa pengetahuan yang didapat oleh peserta didik dibangun dalam
pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Tahap perkembangan
intelektual peserta didik menurut Jean Piaget dijelaskan dengan tabel di bawah ini:
Umur
(tahun)
|
Fase
Perkembangan
|
Perubahan
Perilaku
|
0 – 2
|
Tahap Sensori
Motor
|
Kemampuan berpikir
peserta didik baru melalui gerakan atau perbuatan. Pada usia ini mereka belum
mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah ‘menangis’. Memberi
pengetahuan pada mereka harus dengan sesuatu yang bergerak.
|
2 – 7
|
Tahap
Pra-operasional
|
Kemampuan skema
kognitif masih terbatas. Suka meniru perilaku orang lain. Mulai mampu
menggunakan kata-kata yang benar dan mampu mengekspresikan kalimat secara
efektif.
|
7 –
11
|
Tahap Operasional
Kongkrit
|
Peserta didik sudah
mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi misalnya volume dan jumlah. Sudah
mampu berpikir sistematis mengenai benda dan peristiwa secara kongkrit.
|
11 –
14
|
Tahap Operasional
Formal
|
Telah memiliki
kemampuan meng-koordinasi dua ragam kemampuan kognitif secara serentak.
Sedang dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, peserta didik
akan mampu mempelajari materi pelajaran yang abstrak seperti agama,
matematika, dll.
|
7.
Teori Perkembangan Sosial
Peserta Didik.
Salah seorang tokoh
psikologi perkembangan yang merumuskan teori perkembangan sosial peserta didik
adalah Erik Erikson. Erik sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya di bidang
psikologi anak. Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari
Freud yang lebih menekankan pada dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori
tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Berikut ini
teori perkembangan sosial menurut Erikson yang tergambar pada tahap-tahap
perkembangan anak sebagai berikut:
Umur
(tahun)
|
Fase
Perkembangan
|
Perubahan
Perilaku
|
0 – 1
|
Trust vs Mistrust
|
Tahap ini memfokuskan
panca indera sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.
|
2 – 3
|
Autonomy vs Shame
|
Tahap ini dapat disebut
sebagai masa nakalnya anak. Namun kenakalan ini tidak dapat langsung dicegah
begitu saja karena anak sedang mengembangkan kemampuan motorik dan kognitif.
|
4 – 5
|
Initiative vs
Guilt
|
Fase ini menjadi penting
karena umumnya anak mulai merasakan secara psikologis pengaruh dari jenis
kelaminnya. Anak laki-laki cenderung menjadi lebih sayang kepada Ibu, anak
perempuan lebih sayang kepada Ayah.
|
6 –
11
|
Industry vs
Inferiority
|
Mereka sudah bisa
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Namun masih kurang hati-hati dan menuntut
perhatian yang lebih.
|
12 –
18/19
|
Ego-identity vs
Role On Fusion
|
Tahap ini anak ingin
mencari jati dirinya. Anak yang mulai remaja ingin tampil memegang peran
sosial dalam masyarakat. Namun belum bisa mengatur dan memisahkan tugas dalam
peran yang berbeda.
|
18/19
– 30
|
Intimacy vs
Isolation
|
Manusia sudah siap
menjalin hubungan yang intim dengan orang lain, membangun bahtera rumah
tangga bersama calon pilihannya.
|
31 –
60
|
Generativity vs
Stagnation
|
Tahap ini ditandai
dengan munculnya kepedulian terhadap sesama.
|
60 –
ke atas
|
Ego-integrity vs
Putus Asa
|
Masa ini dimulai pada
usia 60-an dimana manusia mulai mengembangkan integritas dirinya.
|
8.
Teori Perkembangan Mental
Peserta Didik.
Lev Vygotsky salah satu
tokoh pencetus teori perkembangan mental peserta didik. Pendapatnya hampir sama
dengan Jean Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan, yaitu apa yang diketahui
siswa bukanlah hasil kopi dari apa yang mereka temukan di dalam lingkungan,
tetapi sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa.
Vygotsky lebih
menekankan pada peran pengajaran dan interaksi sosial. Sumbangan penting yang
diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah konsep zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak
bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas itu berada
dalam jangkauan kemampuannya atau dalam ZPD. ZPD adalah tingkat perkembangan
sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini.
Sedangkan konsep scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya.
9.
Teori Perkembangan Moral
Peserta Didik.
Sebagai
seorang yang mengembangkan gagasan pertama tentang perkembangan moral peserta
didik, John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap tingkatan
yaitu : tahap premoral atau preconventional, tahap conventional dan tahap
autonomous.
Jean
Piaget juga berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral anak-anak
sebagai peserta didik melalui pengamatan dan wawancara. Menurutnya
ketidakmatangan moral anak dikarenakan dua hal yakni (1) keterbatasan moral
anak: egosentris dan realistic, (2) rasa hormat pada orang tua/dewasa yang
heterogen. Dalam pandangannya tentang tahap-tahap perkembangan moral, Piaget
membaginya ke dalam tiga tahap yaitu tahap Non-morality, Heteronomous morality,
dan Autonomous morality.
Selain
tokoh-tokoh diatas, Lawrence Kohlberg (1977) adalah tokoh yanh paling popular
dalam menjelaskan tentang teori perkembangan moral. Kohlberg mengembangkan
teorinya ini berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan
kognitif dari Dewey dan Piaget di atas.
Tahap-tahap
perkembangan moral diperinci sebagai berikut:
Tahapan
pertama adalah pre-conventional. Pada tahap ini terdapat dua tingkatan.
Tingkatan 1 adalah moralitas heteronomous.
Tingkatan 2 adalah moralitas individu dan
timbale balik.
Tahap
kedua adalah conventional. Pada tahap ini terdapat dua tingkatan sebagai
kelanjutan dari sebelumnya yaitu : tingkatan 3 moralitas harapan saling antara individu. Tingkatan 4 yaitu moralitas system sosial dan kata hati.
Tahap ketiga adalah post-conventional. Pada
tahap ini terdapat tiga tingkatan yaitu tingkatan 4,5 adalah tingkat transisi dimana seseorang belum
sampai pada tingkat post-conventional yang sebenarnya. Tingkatan 5 yaitu moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak
manusia. Tingkatan 6 adalah moralitas
yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum.
10.
Tipologi Kepribadian Peserta
Didik.
Henry A. Murray
berpendapat bahwa kepribadian akan dapat lebih mudah dipahami dengan cara menyelidiki
alam ketidaksadaran seseorang. Murray kemudian membagi tipe kepribadian peserta
didik khususnya anak usia dini menjadi beberapa macam, yaitu:
a.
Autonomy.
Yaitu tipe kepribadian yang senang
melakukan sesuatu secara sendiri, tidak senang dibantu orang lain, tidak senang
disuruh-suruh.
b.
Affiliation.
Yaitu tipe kepribadian yang senang
bersama anak lain, suka bersahabat, suka memperbanyak teman, saling membutuhkan
teman dan sahabatnya.
c.
Succurance.
Kepribadian yang ditandai dengan
selalu manja, ingin orang lain membantunya, ingin selalu minta tolong.
d.
Nurturance.
Kepribadian yang ditandai dengan
sikap pemurah, senang memberi, senang meminjami, selalu berbagi.
e.
Aggression.
Kepribadian yang ditandai dengan
sikap agresif, mudah tersinggung dan marah, jika diganggu akan menyerang balik
dengan berlebihan.
f.
Dominance.
Tipe kepribadian yang ingin menguasai
atau mengatur teman, ingin tampil menonjol, ingin menjadi ketua kelas atau
pengurus kelas.
g.
Achievement.
Kepribadian yang ditandai dengan
semangat kerja yang tinggi, ingin bisa melakukan sesuatu karya, tugas sekolah
dikerjakan secara sungguh-sungguh dan cenderung tak mau dibantu.
11.
Kecerdasan Ganda Peserta Didik.
Menurut Gardner,
kecerdasan adalah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan
masalah-masalah dan membuat cara penyelesaiannya dalam konteks yang beragam dan
wajar. Kecerdasan seseorang bersifat jamak atau ganda yang meliputi
unsure-unsur kecerdasan, unsur kecerdasan tersebut akan dirinci sebagai
berikut:
a.
Kecerdasan matematik. Adalah
kemampuan akal peserta didik untuk menggunakan angka-angka secara efektif dan
berpikir secara nalar. Peserta didik
semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan
tinnggi dalam menyelesaikan problem matematika.
b.
Kecerdasan lingual. Adalah kemampuan
akal peserta didik untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara
lisan maupun dalam bentuk tulisan.
Peserta didik dengan kecerdasan lingual yang tinggi ditandai dengan
kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa
seperti membaca, menulis karangan, membuta puisi, menyusun kata-kata mutiara,
dan sebagainya.
c.
Kecerdasan musical. Adalah
kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk mempersepsikan, mendiskriminasikan,
mengubah dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik.
d.
Kecerdasan visual-spasial.
Adalah kemampuan peserta didik untuk menangkap dunia ruang visual secara akurat
dan melakukan perubahan-perubahan terhadap persepsi tersebut. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan
kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal
yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial
e.
Kecerdasan kinestetik. Adalah
kemampuan yang dimiliki peserta didik dalam menggunakan seluruh tubuhnya untuk
mengekspresikan ide dan perasaan atau menggunakan kedua tangan untuk
menghasilkan dan mentransformasikan sesuatu.
f.
Kecerdasan interpersonal.
Adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk mempersepsikan dan menangkap
perbedaan-perbedaan mood, tujuan, motivasi dan perasaan-perasaan orang lain.
g.
Kecerdasan intrapersonal.
Adalah kemampuan menyadari diri dan mewujudkan keseimbangan mental-emosional
dalam diri peserta didik untuk bisa beradaptasi sesuai dengan dasar dari
pengetahuan yang dimiliki.
h.
Kecerdasan natural. Adalah
kemampuan peserta didik untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang
berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam atau
hutan.
12.
Peserta Didik Berbakat.
Setiap diri peserta
didik memiliki bakat dan minat. Bakat merupakan suatu kelebihan yang dimiliki
oleh peserta didik yang mengarah pada aneka kemampuan. Ada sejumlah peserta
didik yang memiliki kelebihan dalam hal kemampuan numeric, mekanik, berpikir
abstrak, relasi ruang, dan verbal. Sedangkan minat adalah keinginan yang
berasal dari dalam diri peserta didik terhadap obyek atau aktivitas tertentu.
Kepemilikan bakat
dan minat sangat berpengaruh pada prestasi hasil belajar peserta didik. Dalam
satu kelas, bakat dan minat peserta didik yang satu berbeda dengan bakat dan
minat peserta didik yang lainnya. Namun setiap peserta didik diharapkan dapat
menguasai semua materi pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah.
Menurut Yaumil
(1991) ada tiga kelompok keberbakatan
yaitu:
a.
Kemampuan umum yang tergolong
di atas rata-rata (above average
ability).
b.
Kreativitas (creativity) yang tergolong tinggi.
c.
Komitmen terhadap tugas (task
commitment) yang tergolong tinggi.
Sedangkan Munandar (1992)
menyebutkan -ciri peserta didik berbakat adalah sebagai berikut:
Pertama,
indikator intelektual/belajar, mencakup: kemudahan dalam menangkap
pelajaran, kemudahan mengingat kembali, memiliki perbendaharaan kata yang luas, penalaran yang tinggi
dan sebagainya.
Kedua,
indikator kreativitas, mencakup memiliki
rasa ingin tahu yang besar, sering mengajukan pertanyaan yang berbobot,
memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, mampu menyatakan
pendapat secara spontan, tidak malu-malu,
mempunyai/menghargai rasa keindahan, mempunyai pendapat sendiri dan dapat
mengungkapkannya, tidak mudah terpengaruh oran lain, memiliki rasa humor yang tingi,
mempunyai daya imajinasi yang kuat, mempu mengajukan pemikiran, gagasan
pemecahan masalah yang berbeda dari orang lain (orisinil), dapat bekerja
sendiri, senang mencoba hal-hal baru, mampu mengembangkan atau merinci suatu
gagasan (kemampuan elaborsi)
Ketiga,
indikator motivasi, meliputi tekun
menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, tidak memerlukan dorongan dari
luar untuk berprestasi, ingin mendalami bidang pengetahuan yang diberikan,
menunjukkan minat terhadap aneka macam masalah orang dewasa, senang dan rajin belajar, penuh semangat, cepat bosan
dengan tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat-pendapatnya dalam arti
tidak mudah melepaskan hal yang diyakini, mengenai mengejar tujuan-tujuan
jangka panjang, serta senang mencari dan memecahkan soal-soal.