Rabu, 12 Desember 2012


PESERTA DIDIK

Subjek penerima : peserta didik
Subjek pemberi : pendidik
1.        Pengertian Peserta Didik.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bias bertumbuh kembang kearah kedewasaan. Istilah peserta didik pada pendidikan formal biasa disebut dengan siswa, pada pendidikan pondok pesantren disebut santri, dan pada pendidikan keluarga disebut anak.
Menurut Sutarmi Imam Barnadib (1995) peserta didik sangat bergantung pada orang lain yang memiliki kedewasaan. Sebagai anak, peserta didik masih dalam kondisi yang lemah dibanding orang dewasa. Namun dalam dirinya terdapat potensi bakat yang luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.

2.        Peserta Didik sebagai Pesona.
Peserta didik adalah subyek yang otonom, memiliki motivasi, hasrat, cita-cita dan sebagainya. Sebagai pesona yang memiliki otonomi, ia ingin mengembangkan dirinya secara terus menerus agar mampu memecahkan masalah yang akan dihadapinya. ciri khas peserta didik menurut Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994) adalah peserta didik merupakan:
a.       Individu yang memiliki potensi fisik dan psikhis yang khas.
Maksudnya, ia sejak lahir memiliki potensi yang berbeda dengan individu lain.
b.      Individu yang sedang berkembang.
Selalu memiliki perubahan secara wajar baik pada diri sendiri maupun kearah penyesuaian dengan lingkungan.
c.       Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
Walaupun ia makhluk yang berkembang, memiliki potensi dan bisa mandiri ia tetap belum dewasa maka membutuhkan bantuan dan bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya.
d.      Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
Karena dalam diri anak ada kecenderungan untuk memerdekan diri, sehingga pendidik dan orang tua harus memberi kebebasan walau setapak demi setapak kepada anak.
Keempat  diatas merupakan justifikasi keunikan peserta didik sebagai pesona yang multidimensional. Dimensi individualitas pada diri peserta didik mewujud dalam kemandirian , ketekunan, kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, keakuan, semangat dan ambisi. Dimensi sosialitas pada diri peserta didik tampak pada sikap kedermawanan, saling menolong, toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesama, berorganisasi, dan hidup secara bermasyarakat. Dimensi religiusitas pada diri peserta didik kelihatan dalam perilaku ketaatan menjalankan ajaran agama, berubah, keyakinan akan adanya Tuhan, ketekunan, keikhlasan, kesediaan berdakwah, dan kepasrahan atau tawakal. Dimensi historitas tampak pada diri peserta didik dalam kesenangan menyelidiki kisah-kisah kuno, kegemaran mencatat aneka kejadian sejarah, kesadaran akan pentingnya sejarah, dan kemampuan mengkreasi sejarah. Dimensi moralitas pada diri peserta didik kelihatan pada pengetahuannya tentang nilai-nilai moralitas universal dan lokal, pengetahuan tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari perilaku  moral, kemampuan membedakan antara perilaku moral baik dan buruk, kemampuan menjaga perilaku ketaatan moral, dan lain-lain. Menurut Thomas Amstrong, kecerdasan ganda  (multiple intellegences) meliputi verbal intelegences, musical intelegences, spatial intelegences, kinesthical intelegences, logical-mathematical intelegences, social,intrapersonal intelegences.
Semua keunikan pada diri peserta didik dapat menjadi indikator yang membedakan bahwa manusia bisa bersifat dinamis bukan statis. Pertanyaannya apakah dinamika tersebut mengarah ke situasi yang konstruktif atau malah destruktif. Oleh sebab itu kehidupan manusia perlu diarahkan agar dapat melahirkan kemajuan peradaban.
Notonagoro (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995) menambahkan bahwa secara kodrati peserta didik merupakan sosok manusia yang memiliki aneka macam kodrat. Walaupun demikian, manusia tetaplah makhluk individu yang tetap membutuhkan bantuan dari orang lain dan tidak dapat hidup sendiri.

3.        Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik.
Tahap perkembangan yang mengandung masa peka pada peserta didik telah banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti Aristoteles, Sigmund Freud, Johann Amos dan J.J.Rousseau. Dalam buku Crow and crow (Sutari Imam Barnadib, 1995) usia perkembangan diantaranya adalah:
a.       Usia kronologis.
b.      Usia kejasmanian.
c.       Usia anatomis.
d.      Usia kejiwaan.
e.       Usia pengalaman.
Usia perkembangan yang ada pada peserta didik perlu diketahui dan dipahami oleh pendidik. Bagi peserta didik yang hidup di dalam lingkungan yang teratur maka perkembangannya akan melalui proses umum sehingga tiap-tiap usia perkembangan dapat masak pada waktunya.
Menurut Sutarmi Imam Barnadib (1995) paling tidak ada lima asas perkembangan pada diri peserta didik:
a.       Tubuhnya selalu berkembang hingga semakin dapat menjadi alat untuk menyatakan kepribadiannya.
b.      Anak dilahirkan dalam keadaan tak berdaya, hal ini menyebabkan ia terikat kepada pertolongan orang dewasa yang bertanggung jawab.
c.       Anak membutuhkan pertolongan dan perlindungan.
d.      Anak mempunyai daya berekspresi yaitu kekuatan untuk menemukan hal-hal baru dalam lingkungannya.
e.       Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi dengan orang lain.
Teori yang berorientasi biologis secara klasik dikenal dengan nativisme. Kemudian muncul teori yang berorientasi pengalaman yang dikenal dengan empirisme. Teori lingkungan pengembangan dari faham empirisme adalah naturalism. Sedangkan teori yang merupakan gabungan adalah faham interaksionisme.
a.       Nativisme.
Teori ini dipelopori oleh Schopenhauer (1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi manusia sejak lahir telah dianugerahi bekal bakat potensi baik dan buruk. Menurut teori ini, anak yang sudah membawa potensi jahat akan menjadi jahat nantinya dan sebaliknya anak yang membawa potensi baik akan menjadi baik pula. Oleh karena itu faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya adalah dari dalam diri peserta didik itu sendiri, sementara pengalaman dari lingkungan tidak akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga teori nativisme merupakan teori yang menganggap bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor pembawaanya yaitu aneka potensi.
b.      Empirisme.
Teori yang dipelopori oleh John Locke ini berpendapat bahwa perkembangan anak tergantung dari pengalamannya, sedangkan pembawaannya tidaklah penting. Istilah lain dari empirisme adalah enviromentalisme, sebab aliran ini menekankan pengalaman empiris yang berupa rangsangan yang berasal dari lingkungan (environment). Teori ini oleh pemikir-pemikir berikutnya banyak dikritik dan dikoreksi, karena teori ini dianggap berat sebelah yang hanya mementingkan faktor pengalaman semata tanpa memperhatikan faktor bakat individu.
c.       Naturalisme.
Teori yang dipelopori oleh J.J.Rousseau ini berpendapat bahwa anak sejak lahir telah membawa potensi baik, adapun sifat-sifat jahat itu disebabkan oleh pengaruh negative dari masyarakat yang memang sudah rusak atau jahat. Agar anak tetap menjadi baik maka anak tersebut sejak kecil harus dipisahkan dari pengaruh masyarakat. Akibat pandangan dan sikap tersebut maka aliran ini juga dikenal dengan istilah teori Negativisme. Dalam bukunya yang berjudul Emile, J.J. Rousseau menceritakan bagaimana pendidikan harus dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik secara individual dengan cara menjauhkan peserta didik dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificical) sehingga segenap potensi kebaikan pada diri anak sebagai peserta didik bisa berkembang secara bebas, alamiah, dan spontan.

d.      Konvergensi.
Teori ini mencoba untuk mensintesiskan teori-teori yang telah disebutkan di atas. Teori yang dipelopori oleh William Stern ini beranggapan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak disamping dipengaruhi oleh faktor internal juga dipengaruhi factor pengalaman.
Implikasi dari teori ini adalah :
a). Pendidikan mungkin dilaksanakan
b). Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan pada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah potensi buruk.
Yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.Teori ini disebut sebagai konvergensi karena menggabungkan aliran-aliran sebelumnya menjadi memusat. Namun demikian teori ini dianggap masih menyisakan permasalahan karena dianggap tidak bisa menjelaskan lebih lanjut dinamika pertemuan dua faktor bawaan dan lingkungan. Variasi strategi dalam pelaksanaan pendidikan dan pemebelajaran menurut Umar Tirtarahardja dan  La Sulo (1994) aneka variasi strategi tersebut dikenal dengan nama strategi disposisional, strategi fenomenolgis, strategi behavioral, dan strategi psikodinamik.

4.        Teori Perkembangan Fisik Peserta Didik.
Teori ini dikemukakan oleh Gasell dan Ames (1940) serta Illingsworth (1983). Perkembangan fisik mencakup berat badan, tinggi badan, termasuk perkembangan motorik. Dalam pendidikan, pengembangan fisik mencakup pengembangan kekuatan, ketahanan, kecepatan, kecekatan, dan keseimbangan.
Menurut Gasell dan Ames serta Illingsworth yang dikutip Slamet Suyanto (2005) perkembangan motorik peserta didik pada anak usia dini mengikuti delapan pola umum:
a.       Continuity (keberlanjutan), yakni suatu perkembangan dimulai dari sederhana kearah yang kompleks sejalan dengan bertambahnya usia anak.
b.      Uniform sequence(kesamaan tahapan), yakni suatu perkembangan yang memiliki tahapan sama untuk semua anak.
c.       Maturity (kematangan), yakni suatu perkembangan yang dipengaruhi oleh perkembangan sel syaraf.
d.      From general to specific process (proses dari umum ke khusus), yakni suatu perkembangan yang dimulai dari gerak bersifat umum kepada gerak bersifat khusus.
e.       Dari gerak refleks bawaan kearah terkoordinasi, yakni suatu perkembangan yang dimiliki peserta didik.
f.       Chepalo-caudal direction, yakni bagian yang mendekati kepala berkembang cepat daripada yang menuju ekor. Otot pada leher berkembang lebih dulu dari pada otot kaki.
g.      Proximo-distal, yakni suatu perkembangan yang ditandai dengan bagian yang mendekati sumbu tubuh berkembang lebih dahulu daripada yang lebih jauh.
h.      From bilateral to crosslateral, yakni suat perkembangan yang dimulai dari koordinasi organ yang sama berkembang lebih dahulu sebelum bisa melakukan koordinasi organ persilangan.

5.        Teori Perkembangan Biologis Peserta Didik.
Perkembangan peserta didik menurut Sigmund Freud dimulai dari lahir sampai umur 5 tahun melewati fase yang terdiferensiasi secara dinamik. Selanjutnya berkembang sampai umur 12 atau 13 tahun mengalami fase stabil yaitu fase laten. Dinamika berlanjut hingga umur 20 tahun yaitu pada masa pubertas, kemudian berlanjut pada masa kematangan.
Umur
(tahun)
Fase
Perkembangan
Perubahan
Perilaku
0 – 1
Masa Oral
Mulut merupakan daerah pokok aktivitas dinamik.
1 – 3
Masa Anal
Dorongan dan tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
3 – 5
Masa Felis
Alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
5 – 13
Masa Laten
Impuls-impuls atau dorongan-dorongan cenderung terdesak dan mengendap ke dalam bawah sadar.
13 – 20
Masa Pubertas
Impuls-impuls mulai menonjol dan muncul kembali. Apabila bisa dipindahkan dan disublimasikan oleh das ich dengan baik, maka ia bisa sampai pada masa kematangan.
20 – ke atas
Masa Genital
Individu yang sudah mencapai fase ini telah menjadi manusia dewasa dan siap terjun dalam kehidupan masyarakat luas.


6.        Teori Perkembangan Intelektual Peserta Didik.
Teori ini banyak dikembangkan oleh Jean Piaget (1896-1980). Dalam teori perkembangan intelektual, Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilaui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir normal. Jean Piaget juga menyatakan bahwa pengetahuan yang didapat oleh peserta didik dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Tahap perkembangan intelektual peserta didik menurut Jean Piaget dijelaskan dengan tabel di  bawah ini:
Umur
(tahun)
Fase
Perkembangan
Perubahan
Perilaku
0 – 2
Tahap Sensori Motor
Kemampuan berpikir peserta didik baru melalui gerakan atau perbuatan. Pada usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah ‘menangis’. Memberi pengetahuan pada mereka harus dengan sesuatu yang bergerak.
2 – 7
Tahap Pra-operasional
Kemampuan skema kognitif masih terbatas. Suka meniru perilaku orang lain. Mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu mengekspresikan kalimat secara efektif.
7 – 11
Tahap Operasional Kongkrit
Peserta didik sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi misalnya volume dan jumlah. Sudah mampu berpikir sistematis mengenai benda dan peristiwa secara kongkrit.
11 – 14
Tahap Operasional Formal
Telah memiliki kemampuan meng-koordinasi dua ragam kemampuan kognitif secara serentak. Sedang dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, peserta didik akan mampu mempelajari materi pelajaran yang abstrak seperti agama, matematika, dll.


7.        Teori Perkembangan Sosial Peserta Didik.
Salah seorang tokoh psikologi perkembangan yang merumuskan teori perkembangan sosial peserta didik adalah Erik Erikson. Erik sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya di bidang psikologi anak. Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Berikut ini teori perkembangan sosial menurut Erikson yang tergambar pada tahap-tahap perkembangan anak sebagai berikut:
Umur
(tahun)
Fase
Perkembangan
Perubahan
Perilaku
0 – 1
Trust vs Mistrust
Tahap ini memfokuskan panca indera sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.
2 – 3
Autonomy vs Shame
Tahap ini dapat disebut sebagai masa nakalnya anak. Namun kenakalan ini tidak dapat langsung dicegah begitu saja karena anak sedang mengembangkan kemampuan motorik dan kognitif.
4 – 5
Initiative vs Guilt
Fase ini menjadi penting karena umumnya anak mulai merasakan secara psikologis pengaruh dari jenis kelaminnya. Anak laki-laki cenderung menjadi lebih sayang kepada Ibu, anak perempuan lebih sayang kepada Ayah.
6 – 11
Industry vs Inferiority
Mereka sudah bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah. Namun masih kurang hati-hati dan menuntut perhatian yang lebih.
12 – 18/19
Ego-identity vs Role On Fusion
Tahap ini anak ingin mencari jati dirinya. Anak yang mulai remaja ingin tampil memegang peran sosial dalam masyarakat. Namun belum bisa mengatur dan memisahkan tugas dalam peran yang berbeda.
18/19 – 30
Intimacy vs Isolation
Manusia sudah siap menjalin hubungan yang intim dengan orang lain, membangun bahtera rumah tangga bersama calon pilihannya.
31 – 60
Generativity vs Stagnation
Tahap ini ditandai dengan munculnya kepedulian terhadap sesama.
60 – ke atas
Ego-integrity vs Putus Asa
Masa ini dimulai pada usia 60-an dimana manusia mulai mengembangkan integritas dirinya.


8.        Teori Perkembangan Mental Peserta Didik.
Lev Vygotsky salah satu tokoh pencetus teori perkembangan mental peserta didik. Pendapatnya hampir sama dengan Jean Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan, yaitu apa yang diketahui siswa bukanlah hasil kopi dari apa yang mereka temukan di dalam lingkungan, tetapi sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa.
Vygotsky lebih menekankan pada peran pengajaran dan interaksi sosial. Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran adalah konsep zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya atau dalam ZPD. ZPD adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini.
Sedangkan konsep scaffolding  berarti memberikan kepada siswa sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya.

9.        Teori Perkembangan Moral Peserta Didik.
Sebagai seorang yang mengembangkan gagasan pertama tentang perkembangan moral peserta didik, John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap tingkatan yaitu : tahap premoral atau preconventional, tahap conventional dan tahap autonomous.
Jean Piaget juga berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral anak-anak sebagai peserta didik melalui pengamatan dan wawancara. Menurutnya ketidakmatangan moral anak dikarenakan dua hal yakni (1) keterbatasan moral anak: egosentris dan realistic, (2) rasa hormat pada orang tua/dewasa yang heterogen. Dalam pandangannya tentang tahap-tahap perkembangan moral, Piaget membaginya ke dalam tiga tahap yaitu tahap Non-morality, Heteronomous morality, dan Autonomous morality.
Selain tokoh-tokoh diatas, Lawrence Kohlberg (1977) adalah tokoh yanh paling popular dalam menjelaskan tentang teori perkembangan moral. Kohlberg mengembangkan teorinya ini berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas.
Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:
Tahapan pertama adalah pre-conventional. Pada tahap ini terdapat dua tingkatan. Tingkatan 1 adalah moralitas heteronomous. Tingkatan 2 adalah moralitas individu dan timbale balik.
Tahap kedua adalah conventional. Pada tahap ini terdapat dua tingkatan sebagai kelanjutan dari sebelumnya yaitu : tingkatan 3 moralitas harapan saling antara individu. Tingkatan 4 yaitu moralitas system sosial dan kata hati.
Tahap ketiga adalah post-conventional. Pada tahap ini terdapat tiga tingkatan yaitu tingkatan 4,5 adalah tingkat transisi dimana seseorang belum sampai pada tingkat post-conventional yang sebenarnya. Tingkatan 5 yaitu moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Tingkatan 6 adalah moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum.

10.    Tipologi Kepribadian Peserta Didik.
Henry A. Murray berpendapat bahwa kepribadian akan dapat lebih mudah dipahami dengan cara menyelidiki alam ketidaksadaran seseorang. Murray kemudian membagi tipe kepribadian peserta didik khususnya anak usia dini menjadi beberapa macam, yaitu:
a.       Autonomy.
Yaitu tipe kepribadian yang senang melakukan sesuatu secara sendiri, tidak senang dibantu orang lain, tidak senang disuruh-suruh.
b.      Affiliation.
Yaitu tipe kepribadian yang senang bersama anak lain, suka bersahabat, suka memperbanyak teman, saling membutuhkan teman dan sahabatnya.
c.       Succurance.
Kepribadian yang ditandai dengan selalu manja, ingin orang lain membantunya, ingin selalu minta tolong.
d.      Nurturance.
Kepribadian yang ditandai dengan sikap pemurah, senang memberi, senang meminjami, selalu berbagi.
e.       Aggression.
Kepribadian yang ditandai dengan sikap agresif, mudah tersinggung dan marah, jika diganggu akan menyerang balik dengan berlebihan.
f.       Dominance.
Tipe kepribadian yang ingin menguasai atau mengatur teman, ingin tampil menonjol, ingin menjadi ketua kelas atau pengurus kelas.
g.      Achievement.
Kepribadian yang ditandai dengan semangat kerja yang tinggi, ingin bisa melakukan sesuatu karya, tugas sekolah dikerjakan secara sungguh-sungguh dan cenderung tak mau dibantu.

11.    Kecerdasan Ganda Peserta Didik.
Menurut Gardner, kecerdasan adalah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah dan membuat cara penyelesaiannya dalam konteks yang beragam dan wajar. Kecerdasan seseorang bersifat jamak atau ganda yang meliputi unsure-unsur kecerdasan, unsur kecerdasan tersebut akan dirinci sebagai berikut:
a.       Kecerdasan matematik. Adalah kemampuan akal peserta didik untuk menggunakan angka-angka secara efektif dan berpikir secara nalar. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinnggi dalam menyelesaikan problem matematika.
b.      Kecerdasan lingual. Adalah kemampuan akal peserta didik untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Peserta didik dengan kecerdasan lingual yang tinggi ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca, menulis karangan, membuta puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya.
c.       Kecerdasan musical. Adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk mempersepsikan, mendiskriminasikan, mengubah dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik.
d.      Kecerdasan visual-spasial. Adalah kemampuan peserta didik untuk menangkap dunia ruang visual secara akurat dan melakukan perubahan-perubahan terhadap persepsi tersebut. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial
e.       Kecerdasan kinestetik. Adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik dalam menggunakan seluruh tubuhnya untuk mengekspresikan ide dan perasaan atau menggunakan kedua tangan untuk menghasilkan dan mentransformasikan sesuatu.
f.       Kecerdasan interpersonal. Adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk mempersepsikan dan menangkap perbedaan-perbedaan mood, tujuan, motivasi dan perasaan-perasaan orang lain.
g.      Kecerdasan intrapersonal. Adalah kemampuan menyadari diri dan mewujudkan keseimbangan mental-emosional dalam diri peserta didik untuk bisa beradaptasi sesuai dengan dasar dari pengetahuan yang dimiliki.
h.      Kecerdasan natural. Adalah kemampuan peserta didik untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam atau hutan.

12.    Peserta Didik Berbakat.
Setiap diri peserta didik memiliki bakat dan minat. Bakat merupakan suatu kelebihan yang dimiliki oleh peserta didik yang mengarah pada aneka kemampuan. Ada sejumlah peserta didik yang memiliki kelebihan dalam hal kemampuan numeric, mekanik, berpikir abstrak, relasi ruang, dan verbal. Sedangkan minat adalah keinginan yang berasal dari dalam diri peserta didik terhadap obyek atau aktivitas tertentu.
Kepemilikan bakat dan minat sangat berpengaruh pada prestasi hasil belajar peserta didik. Dalam satu kelas, bakat dan minat peserta didik yang satu berbeda dengan bakat dan minat peserta didik yang lainnya. Namun setiap peserta didik diharapkan dapat menguasai semua materi pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah.
Menurut Yaumil (1991) ada tiga kelompok  keberbakatan yaitu:
a.       Kemampuan umum yang tergolong di atas rata-rata (above average ability).
b.      Kreativitas (creativity) yang tergolong tinggi.
c.       Komitmen terhadap tugas (task commitment) yang tergolong tinggi.
Sedangkan Munandar (1992) menyebutkan -ciri peserta didik berbakat adalah sebagai berikut:
Pertama, indikator intelektual/belajar, mencakup: kemudahan dalam menangkap pelajaran, kemudahan mengingat kembali, memiliki perbendaharaan kata yang luas, penalaran yang tinggi dan sebagainya.
Kedua, indikator kreativitas, mencakup memiliki rasa ingin tahu yang besar, sering mengajukan pertanyaan yang berbobot, memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, mampu menyatakan pendapat secara spontan, tidak malu-malu, mempunyai/menghargai rasa keindahan, mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya, tidak mudah terpengaruh oran lain, memiliki rasa humor yang tingi, mempunyai daya imajinasi yang kuat, mempu mengajukan pemikiran, gagasan pemecahan masalah yang berbeda dari orang lain (orisinil), dapat bekerja sendiri, senang mencoba hal-hal baru, mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan (kemampuan elaborsi)
Ketiga, indikator motivasi, meliputi tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi, ingin mendalami bidang pengetahuan yang diberikan, menunjukkan minat terhadap aneka macam masalah orang dewasa, senang dan rajin belajar, penuh semangat, cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat-pendapatnya dalam arti tidak mudah melepaskan hal yang diyakini, mengenai mengejar tujuan-tujuan jangka panjang, serta senang mencari dan memecahkan soal-soal.

0 komentar :

Posting Komentar